25/04/10

"ISU PENDIDIKAN KARAKTER"

Mungkin sebagian besar dari para pendidik atau semua pendidik berpendapat bahwa karakter peserta didik dapat dibentuk melalui proses belajar mengajar (learning process) formal di sekolah.

Sama halnya, barangkali tak ada yang berkeberatan kalau pendidikan karakter terhadap peserta didik dapat dilakukan di luar jalur formal sekolah. Dengan kata lain, pendidikan karakter peserta didik seharusnya dicakup oleh pendidikan formal sekolah dan nonformal di luar sekolah.

Selain pendidikan agama saja atau pendidikan budi pekerti saja, secara simultan pendidikan agama dan budi pekerti dapat dilekatkan (built-in process) pada pendidikan karakter melalui semua mata pelajaran. Pendidikan kejujuran dapat dibangun melalui pengajaran matematika.

Peserta didik harus jujur sebagaimana kebenaran yang diajarkan dalam matematika. Pendidikan untuk bersikap sebagai orang beriman dapat dilakukan melalui pengajaran fisika, biologi, geografi, dan sastra.

Peserta didik dapat menerima penanaman kesadaran dan sikap untuk memuliakan Sang Penciptanya yang telah menganugerahkan umat manusia, termasuk para peserta didik, isi alam yang dapat diteliti melalui ilmu-ilmu yang bersangkutan. Tanpa alam dengan segala isinya yang dapat dipelajari, umat manusia mustahil bisa hidup dan bertahan hidup.

Patut dipertanyakan, bagaimanakah pendidikan agama dan budi pekerti selama ini. Jika agama diajarkan sebagaimana pengajaran P4 di zaman Orde Baru (orba), maka yang terjadi bukanlah pendidikan agama, melainkan indoktrinasi peserta didik dengan pengisian ajaran agama secara doktriner dalam pengertian satu arah.

Peserta didik hanya siap menerima apa yang dituangkan oleh pengajar atau penyaji ilmu yang kehilanghan perannya sebagai pendidik atau pembangun akhlak dan budi pekerti luhur dalam diri para peserta didik.

Seharusnya, pengajaran (ilmu) dan pendidikan (manusia) diarahkan pada setiap peserta didik secara utuh, dalam arti muatan ajaran dan pendidikan diarahkan pada seluruh potensi yang menentukan individu peserta didik sebagai sebuah living entity yang utuh dan yang berkebebasan.

Tanpa menghargai dan memberi peluang bagi aktualisasi kebebasan individual oleh peserta didik, maka terjadilah indoktrinasi yang cenderung menyerupai brainwashing atau pencucian otak. Keaslian bakatnya digusur, lalu diganti dengan isi kemauan pengajar (pendidik). Akhirnya, proses belajar mengajar tidak melahirkan orisinalitas peserta didik, melainkan robot hidup atau manusia imitasi buatan para pengajar.

Hasil pengajaran (pendidikan) yang indoktriner hanya menghasilkan individu tanpa ketangguhan hati yang dapat menopang kebenaran rasional dan pilihan moral yang diterima melalui proses pemasukan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan moral virtues atau nilai keutamaan dalam agama dan budaya masyarakat. (***)

tags from http://metronews.fajar.co.id

0 ocehan:

Posting Komentar